Minggu, 25 September 2011

Menyontek, Ironi Dalam Dunia Pendidikan

BERI DONG: Seorang Mahasiswa mengambil contekan dari temannya
(Model : Wimpi Nurrochman dan Laily Puspita)
(FOTO: WELGA FEBDI RISNTINO)
Lirik kanan, lirik kiri. Toleh depan toleh belakang. Ada yang ‘menyelundupkan’ buku, catatan, kertas kecil bahkan ponsel di kolong meja. Itulah kelakuan beberapa siswa di sebuah sekolah menengah atas (SMA) negeri di Jember saat ujian semester berlangsung. Seolah mencari kelengahan pengawas agar bisa mengisi semua jawaban dari soal yang tersedia.

Kejadian seperti itu sering kita lihat di tiap ada ujian sekolah maupun ujian nasional. Mungkin kita juga pernah melakukan hal seperti itu, supaya terhindar dari nilai jelek yang nanti kita peroleh.

Menyontek memiliki arti yang beraneka macam. Akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sontek (menyontek) memiliki arti menjiplak atau mengutip tulisan dan sebagainya sebagaimana aslinya.

Faktor penyebab siswa menyontek itu bermacam-macam. Budi Swandayani, selaku guru Geografi SMA Negeri 5 Jember menjelaskan ada 3 faktor. “Kurang menguasai materi, kurang percaya diri, terlalu menggantungkan diri pada temannya,” jelasnya.

Amir Hasan Ramli, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya (UB) menambahkan, siswa menyontek itu menandakan tidak adanya kesiapan. “Selalu dalam keraguan. Dia sudah benar menjawab, tapi ia tak yakin dengan jawaban itu,” terangnya sembari tertawa kecil.

Gambaran Pendidikan Indonesia 
Standar nilai yang selalu mengalami peningkatan merupakan salah satu usaha pemerintah guna meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tuntutan memenuhi nilai yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seharusnya memacu peserta didik untuk bersungguh-sungguh memahami setiap mata pelajaran. Hal itu disampaikan Sumardi, Staff Sekretariat Dinas Pendidikan Kabupaten Jember dirumahnya.

Sosok pria yang dilahirkan di Jember 64 tahun lalu itu juga menerangkan kinerja Dinas Pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Ia menjelaskan, pembentukan karakter siswa lewat pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing sekolah. “Yang menangani manusianya itu sekolah,” jelasnya dengan nada keras.

Pihak Dinas Pendidikan sendiri selaku bawahan dari Kementrian Pendidikan serta Departemen Pendidikan Nasional, hanya menjalankan apa yang diperintahkan ‘atasan’. “Semua program-program baru dari pemerintah, kami yang sosialisasikan ke sekolah,” ujarnya sembari menghisap lintingan tembakau Surya 12.

Beban Nilai bagi Siswa 
Tiap tahun standar nilai tiap naik. Siswa yang terbiasa santai selama sekolah dan menghadapi nilai-nilai merah di rapornya akan berbeda dengan siswa yang terlatih dalam menghadapi tekanan seperti itu (baca: siswa rajin belajar).

Siswa yang terbiasa santai akan merasa terbebani dengan kondisi yang ada. Menyontek merupakan satu-satunya cara agar dapat lulus dan berharap dapat nilai bagus. Hal ini dialami Taqwatul Hikmah Candini, Mahasiswi Ilmu Komunikasi UB.

Semasa SMA dulu, ia seringkali menyontek, karena kesulitan menemukan jawabannya. “Jenenge ae wong kepepet, nyontek ae wes (Namanya saja orang terjepit, ya menyontek saja),” ujarnya sambil tertawa lebar.

Ia juga menambahkan kalau tidak menyontek, ia bisa kalah saing. “Aku kan iri, kalau nanti teman-teman dapat nilai bagus,” ujar cewek yang mengaku asli dari Blitar ini.

Disinggung masalah Ujian Nasional (UNAS), Taqwatul mengerenyitkan dahinya. Dia langsung melontarkan komentar kalau tiap tahun sistemnya jangan berubah-ubah. “Dulu kalau tidak lulus UNAS bisa ujian ulangan. Tapi sekarang langsung Paket C (Ujian kesetaraan SMA),” jelasnya dengan nada kesal.

Dia berharap sistem pendidikan di Indonesia sekarang tidak melulu ujian tulis. “Ujian tulis itu pas untuk mengetes seberapa kemampuan siswa memahami ilmu yang telah dipelajari. Tapi harus melihat dari segi lain seperti hard skill dan soft skill siswa”.

Lain Taqwatul, lain pula Putri Aulia Dwi Setyawati. Lulusan 2011 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Arjasa, Jember ini jarang menyontek. Bahkan ia mengusahakan untuk tidak menyontek. “Saya usahakan belajar dulu. Menyontek lho tidak penting, malah buat kita malas berpikir,” ujar cewek manis yang kental dengan aksen Maduranya ini.

Putri tidak merasa terbebani dengan standar nilai yang tiap tahun makin meningkat. Karena menurutnya ini merupakan tuntutan sebagai seorang pelajar. Malah dia terus mendukung UNAS tetap ada. “Karena bisa memacu pikiran kita,” jelas cewek yang suka menulis ini.

Dia juga menginginkan sistem pendidikan di Indonesia ini tidak terpaku pada ujian tulis saja. Tetapi memasukkan ujian di bidang lain seperti keahlian olahraga dan seni.

Mahalnya Peran Sekolah, Guru dan Orang Tua
Sekolah diakui sebagai tempat membangun mental dan karakter anak-anak bangsa. Dengan berjalannya waktu, bertambahnya zaman, dan pesatnya teknologi, apakah sekolah bisa menanggulangi arus itu?

SMAN 5 Jember, sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kota Jember bisa menanggulangi masalah itu. Pembangunan mental dan karakter siswanya masih cukup kental. Prinsip yang ditanamkan di sekolah ini salah satunya adalah kejujuran. Kejujuran menjadi harga mati untuk berhasil.

Sejak sekolah dipegang Pudji Juwono pada 2011, mantan kepala sekolah SMAN Pakusari Jember ini mengharamkan ketidakjujuran. Hal ini pertama ditanamkan kepada guru-guru di SMAN 5 Jember. Ia menghimbau guru untuk tidak mengajari siswanya lewat ‘jalan pintas’ saat UNAS. Maksudnya tidak mengajari siswa untuk berbuat curang.

Disinggung terkait maraknya ‘budaya’ menyontek siswa saat ujian, ia hanya tersenyum. “Menyontek itu bukan budaya, tapi kreativitas siswa sendiri”.

Pudji melakukan berbagai cara, supaya siswa tidak menyontek saat ujian. Mengadakan berbagai latihan-latihan soal sebelum ujian berlangsung. Dengan cara itu, ia berharap anak terbiasa mengerjakan soal dan tidak grogi saat ujian berlangsung. Selain itu mengadakan tambahan pelajaran pada pagi hari dan doa bersama wali murid.

Setelah sekolah mengawali upaya itu, guru adalah pihak selanjutnya dalam menangani masalah siswa terutama kejujuran. Budi Swandayani, guru Geografi SMAN 5 Jember ini juga tidak menyukai siswa bertindak tidak jujur saat ujian.

Ia tidak setuju karena hal itu berkaitan dengan pembentukan karakter. Padahal sekarang ‘gembar-gembornya’ pendidikan karakter. “Takutnya kalau wataknya menyontek, nanti karakternya tidak baik,” ujarnya sembari mengusap buihan keringat di keningnya.

Guru yang berbadan tambun ini memiliki cara untuk menangani permasalahan menyontek. Dia hanya menawarkan kepada siswa untuk mengerjakan ujian secara jujur. “Apapun nilainya kalau itu dikerjakan dengan jujur, saya akan membantu siswa. Tapi kalau nyontek, saya mikir-mikir dulu beri nilainya”.

Selain itu, ia berpendapat harus adanya kerjasama antara guru, siswa, dan wali murid. “Wali murid sekarang kurang respon dengan anaknya. Jadi mereka tidak tahu, anaknya belajar atau tidak,” jelasnya.

Kalau siswa itu tetap ‘bandel’ menyontek? “Saya akan memberikan nilai afektif (perilaku, sikap, dan perbuatan) seminimal mungkin,” ancamnya.

Dukungan orang tua menjadi ‘ujung tombak’ terhadap kondisi psikologis anak. Tuntutan yang terlalu berlebih kepada anak akan membuatnya merasa tertekan.

Orang tua yang cenderung menuntut anaknya seperti itu ada beberapa kemungnkinan. menurut Amir Hasan Ramli, orang tua tidak mendeteksi kemampuan anaknya. Contohnya bapak yang tidak ingin anaknya dapat nilai C, tapi harus A.

Kemungkinan selanjutnya yaitu saat anak lulus ujian masuk sekolah maupun perguruan tinggi favorit. Dengan persaingan yang begitu ketat menunjukkan kecerdasan anak diatas rata-rata. Wajar jika orang tua menuntut anak dapat nilai bagus.

Kalau anak terus dituntut untuk mengikuti kemauan orang tua, Amir mengkhawatirkan anak tersebut tidak akan sukses.

Contohnya saja, bapak yang menuntut anaknya kuliah di kedokteran. Saat ujian masuk, ia lulus. Tapi karena tidak minat dengan jurusan itu, dua tahun lagi ia akan ‘ambrol’ (nilainya jelek dan lama lulusnya, red). Tuntutan orang tua sudah dipenuhi, tapi ia gagal jadi dokter.

Amir memberikan solusi, orang tua harus membebaskan anaknya memilih jurusan dan minatnya. Ia juga menambahkan, dengan pemberian kebebasan memilih jurusan dan minat pada anak, diharapkan bisa membangun karakter anak jadi lebih baik. “Perilaku menyontek bisa dihindari, karena anak giat belajar sesuai dengan pilihannya,” pungkasnya. (Welga Febdi Risantino)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar