Kamis, 05 Januari 2012

Menteri yang Tidak Gengsi Menulis di Koran

Menteri yang Tidak Gengsi Menulis di Koran
 
SURABAYA- Lift berdentang “ting” saat seorang lelaki berbaju batik melangkah ke luar. Tidak ada kawalan ajudan, prosedur protokoler dan sejenisnya. Kusmayanto Kadiman langsung menyalami semua yang ada di ruang pertemuan lantai empat, gedung Sinar Harapan di bilangan Cikini.
Menteri Negara Riset dan Teknologi itu terlambat sekitar 20 menit. Sangat dimaklumi sebab sebelumnya ia sudah berkirim SMS, “Maaf, saya sampai SH jam 16.00 lewat sebab sekarang baru keluar dari istana.”
Meminta maaf melalui SMS bukan hal tabu bagi pejabat sekelas menteri, terutama kalau ia adalah Kusmayanto. Penulis sendiri kadang merasa tidak sedang ber-SMS dengan pejabat, melainkan teman. Sifat membumi seorang KK, begitu lelaki kelahiran 1 Mei 1954 ini akrab disapa, bukan rahasia umum. Di setiap kesempatan, Ph.D dari Australian National University ini selalu tampil ramah diselingi lelucon segar
Tidak Gengsi
“Kalau menulis di media, saya tidak mau menyantumkan gelar. Justru malu sama gelar itu kalau ternyata tulisan saya salah,” celetuk ayah tiga putera ini ketika “mengompori”para pakar Teknologi Informasi (TI) yang hadir di acara Diskusi Penulisan Artikel Iptek dan TI di Media Massa di kantor SH belum lama ini.
KK sendiri walau seorang menteri dan mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak merasa gengsi untuk menulis di surat kabar. Beberapa yang tulisannya sudah dimuat di surat kabar tergolong mudah dipahami dengan bahasa yang sangat membumi, kendati yang dibahas masalah seputar Iptek. Ia mendambakan semua ilmuwan dan pakar Indonesia mau mengikuti jejak ini agar ilmu yang dikuasai bisa disosialisasikan ke masyarakat luas.
Di hadapan sejumlah pengamat TI, jurnalis, penulis blog alias blogger dan hacker, Kusmayanto menuturkan bagaimana proses kreatif menulisnya dilakukan. “Tuangkan saja apa yang mau kita sampaikan, tanpa harus ingin menjadi perfeksionis. Kalau tulisan terlalu perfeksionis, akhirnya akan berakhir di tempat sampah,” demikian KK, Selama ini banyak ilmuwan dan pakar di Indonesia yang beranggapan bahwa menulis di koran dapat menurunkan “kelas”. Mereka memilih untuk menulis di jurnal ilmiah atau blog pribadi yang hanya dibaca oleh komunitasnya. Tulisan ini pun penuh dengan istilah teknis yang sulit dipahami orang awam. Akibatnya, ilmu yang mereka miliki tidak pernah mampu diserap oleh masyarakat luas.
Motivasi
Sepak terjang Kusmayanto sebagai ilmuwan sendiri tidak diragukan lagi. Penggemar golf dan tennis ini sempat sibuk dengan kontribusinya dalam teori sistem dan kontrol digital. Suami dari Sri Sumarni tersebut juga pernah terlibat pada usaha memacu perkembangan teori kontrol dan instrumentasi dan teknologi perangkat lunak di sejumpah perguruan tinggu. Ia pun terkenal sebagai dosen teladan tahun 1991 yang melahirkan sarjana-sarjana yang sekarang bergelar Ph.D dan Master.
Komitmen dan integritas keilmuannya terlihat dalam keterlibatan aktif di Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Asian Control Professor Association (ACPA), IFAC Working Group on Distributed Control System (IFAC WG-DCS), American Society for the Advancement of Science (ASAS).
Namun apakah semua itu membuat seorang Kusmayanto merasa gengsi untuk menulis di koran? Tidak sama sekali. “Kalau ingin menulis harus dipikirkan apa tujuan kita menulis. Mencari nama? Kalau saya pribadi menulis karena memang ingin berbagi. Saya justru akan merasa dihargai kalau menulis tajuk rencana di koran walau tidak harus ada nama yang dicantumkan,” seloroh KK.
Ya, memangn sudah saatnya pejabat sekelas menteri dan ilmuwan menulis untuk rakyat, bukan untuk komunitasnya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar