Kamis, 29 September 2011

Revitalisasi Karakter Bangsa Sekarang!

Kelakuan remaja Indonesia saat ini: tawuran, lihat film porno,
internetan, dan Pacaran
(Karikatur: Ashief Mutammi
Pada pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terdapat cita-cita Indonesia serta dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Selama ini, apakah cita-cita bangsa Indonesia terealisasi semua? Apakah nilai-nilai penting di balik Pancasila masih dipertahankan, terutama bagi pembentukan karakter generasi penerus bangsa sekarang?

Indonesia sebenarnya memiliki modal untuk menjadi bangsa yang maju. Pemerintah, rakyat, sumber daya alam dan sebagainya. Tapi modal yang sudah ada ini, tidak bisa dimanfaatkan Indonesia secara tepat.

Kita lihat saja. Indonesia sekarang masih belum berhasil meraih cita-citanya seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Malahan kita semakin menjauh dari cita-cita tersebut.

Mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan direalisasikan dengan mencanangkan program wajib belajar 12 tahun.

Kita lihat, makin lama biaya pendidikan makin mahal. Tidak ada bedanya menempuh pendidikan di sekolah negeri maupun swasta. Anak-anak yang orang tuanya tidak mempunyai biaya, terpaksa putus sekolah.

Padahal Pemerintah menganggarkan sebanyak 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Salah satunya Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dicanangkan untuk meringankan beban siswa terkait biaya pendidikan. Tapi belakangan siswa masih ditagih uang gedung dan uang seragam. Kenyataan lain, jumlah masyarakat yang buta huruf di lapangan tidak sama dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Sekarang kita lihat dari sisi Pancasila sendiri. Remaja sekarang kehilangan pegangan. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dipinggirkan. Banyak remaja yang lupa sila-sila pancasila. Kalaupun hafal, mereka belum tentu mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena hampir tidak ada permasalahan tentang hal ini.

Sila kedua dan kelima hampir sama maknanya, Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah Indonesia sekarang sudah adil? George Towar Iqbal, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya (UB) ini menjawab tidak.

Pembangunan tidak merata. Pemerintah cenderung melakukan pembangunan di pusat kota. Sedangkan di desa-desa, mereka tidak begitu peduli.

Sedangkan Amir Hasan Ramli, Ketua Program Studi Psikologi UB ini mengatakan beradab dalam sila kedua tidak bisa dimaknai secara baik. Antar desa saja berkelahi, antar suporter berkelahi. “Yang diperebutkan itu apa sih?” tanyanya seraya mengetuk-ngetuk meja kerjanya.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Menurut Sri Mukti Rahayu, Kasubbag Peningkatan Kepemudaan, Olahraga, dan Organisasi Masyarakat (Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten Jember) rasa persatuan semakin berkurang. Dibuktikan dengan memudarnya gotong royong antar masyarakat.

Semangat gotong royong yang memudar, karena trend masyarakat sekarang yang demokrasi. Ajaran demokrasi lebih mementingkan individu sendiri. Kemudian di daerah-daerah masih banyak oknum-oknum yang ingin menghancurkan daerah lain. Mereka memandang daerah lain lebih rendah dari daerahnya.

Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini tidak berlaku. Karena di DPR sekarang masih mempertahankan sistem voting dalam pengambilan keputusan, bukan secara musyawarah.

Permasalahan-permasalahan tersebut akan berdampak pada bangsa Indonesia sendiri. Lambat laun budaya-budaya di Indonesia akan hilang. Contohnya gotong royong dan musyawarah.

Kalau sistemnya masih musyawarah, masyarakat yang memiliki suara kecil masih bisa berperan penting. Tapi kalau voting, suara terbanyak yang akan menang.

Dalam masalah politik, jika remaja sekarang disuguhi logika-logika politik dari barat, maka saat terjun ke masyarakat, mereka cenderung memakai logika tersebut dan meninggalkan logika politik yang dibangun dari bangsa sendiri.

Karakter Bangsa khususnya Remaja Saat Ini
Perlu diketahui, karakter bangsa Indonesia mulai memudar sejak transisi masa Orde Baru ke Reformasi. Latihan baris-berbaris untuk menanamkan kedisiplinan jarang diajarkan ke siswa-siswa.

Selain itu, tiap hari Senin, ada upacara dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera merah putih. Siswa jarang mengikuti secara khidmat proses tersebut. Padahal maksud melakukan hal seperti itu untuk membentuk karakter pribadi masing-masing.
               
Menurut George, karakter bangsa Indonesia khususnya remaja sekarang tidak ada yang bisa dibanggakan. Dari budaya saja, remaja Indonesia tidak bisa mempertahankan budayanya, malah terkena pengaruh budaya asing. Banyak yang mabuk-mabukan dan trek-trek’an. Hal seperti itu tidak sesuai dengan nilai moral dan agama.

Dari segi moral, masih banyak seks bebas di kalangan remaja. Remaja di Indonesia terlalu menelan mentah-mentah budaya asing. Mereka melakukan seks bebas dengan pasangannya masing-masing tanpa ikatan pernikahan, meskipun tidak gonta-ganti pasangan seperti budaya asing lainnya.

Pihak yang ‘berdosa’ atas masalah tersebut yaitu media. Karena media sering menampilkan budaya-budaya hedon dari bangsa lain.
               
Menurut Sri Mukti, rasa nasionalis dan gotong royong remaja sekarang makin berkurang. Kalau dahulu itu rasa kebersamaannya kuat sekali. “Karena rasa itu berkurang, akhirnya mereka berpikir secara individu” wanita asli Blitar, Jawa Timur ini.

Sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan revitalisasi karakter bangsa khususnya remaja yang sudah ‘bobrok’ ini.

Revitalisasi karakter bangsa sebenarnya sudah lakukan sejak Indonesia berdiri. Tapi sampai sekarang kita belum punya karakter yang tepat. Padahal di negara-negara lain, pembangunan karakter sudah selesai.

Hal yang harus dilakukan pertama, dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Setelah itu baru melebar ke masyarakat. Anak itu belajar dari meniru. Kalau keluarga bisa mengajarkan anak-anaknya berbagai hal yang baik, maka anak juga akan meniru kebiasaan baik orang tuanya. Begitu juga sebaliknya.

Selanjutnya pendidikan agama, seperti pembentukan iman seseorang. Menanamkan disiplin. dan pembentukan mental.

Menumbuhkan rasa nasionalisme. Contohnya gotong royong harus ditingkatkan lagi. Tapi sekarang sulit untuk mengembalikan semangat gotong royong. Karena sekarang trend-nya demokrasi. Kecuali kalau pemimpin negaranya tegas untuk menghimbau masyarakatnya. Peran negara itu penting dalam pembentukan karakter bangsa. Contohnya seperti kepemimpinan. (Welga Febdi Risantino)

Selasa, 27 September 2011

Paket Mencurigakan, Gegerkan Ketawanggede

SIAGA: Anggota Jibom Detasemen B Brimob Polda Jatim saat mendeteksi paket mencurigakan tersebut dengan metal detektor

PAKET: Paket mencurigakan yang diletakkan di depan Lokasi Kejadian.

BERSIAP: Anggota Jibom Detasemen B Brimob Polda Jatim saat mengenakan pakaian khusus untuk penangkal bom
(FOTO-FOTO : WELGA FEBDI RISANTINO)
MALANG - Satu tim Jibom (Penjinak Bom) Detasemen B Pelopor, Brimob Polda Jawa Timur mengamankan paket mencurigakan di Jalan Watumujur II Nomor 3, Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Selasa sore (27/9). Paket mencurigakan itu ditujukan kepada Trias Ratnasari (20), mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (FTP UB) asal Bojonegoro.

Paket mencurigakan tersebut berbentuk kotak, dibungkus kertas coklat dan dimasukkan ke dalam karung berwarna putih. Paket mencurigakan ini tanpa disertai nama dan alamat pengirim yang jelas. Selain itu, terdapat tulisan berbahasa arab gundul di paket tersebut. Diduga paket tersebut berasal dari negara Iran.

Mulanya, Kartika Anggara Putri (21), mahasiswi Fakultas Hukum 2008 yang juga teman satu kos Trias menerima paket dari Pos Express jam 12 siang. Kurir yang mengantar paket tersebut mengatakan kalau paket itu ditujukan untuk Trias. “Karena saat itu Trias gak ada, saya taruh di depan kamarnya. Terus sorenya saya diberitahu kalau paket itu mencurigakan,” Ujar Kartika.

Mengetahui paket tersebut mencurigakan, Kartika dan Trias melapor kasus ini ke pihak kepolisian. Pukul 16.30 pihak kepolisian dari Polres Malang dan Polsek Lowokwaru datang ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Jalan di sekitar TKP disterilkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sembari menunggu tim ahli dari Brimob Polda Jatim untuk menangani masalah ini. Warga sekitar TKP pun berkerumun untuk melihat kejadian ini.

Pukul 17.30, tim dari Brimob Polda Jatim datang. Salah satu anggota Jibom yang sudah mengenakan pakaian khusus ditugaskan untuk mendeteksi paket tersebut dengan menggunakan metal detektor. “Ada sinyal dari metal detektor,” kata salah seorang anggota Jibom. Petugas yang dilengkapi pakaian khusus tersebut segera membungkus paket dan mengamankan paket itu.

Kapolsek Lowokwaru, Kompol David Subagyo menyatakan kalau paket tersebut masih akan dideteksi di Polda Jatim. “Paket ini akan dibawa ke Brimob Polda Jatim. Karena diindikasikan mengandung logam-logam kecil. Biar jelas itu bom atau tidak” ujarnya.

Ditanyai mengenai pengakuan Trias, Kompol David Subagyo menuturkan kalau ia tidak merasa memesan sesuatu atau menjanjikan ada paket yang akan diantar ke kosnya.

Sementara Trias, mahasiswi yang dikirimi paket itu tidak ingin ditemui dulu oleh wartawan. “Maaf, Trias masih shock saat ini” ujar Sutiyani (62), pengurus kebersihan rumah kos yang ditempati Trias. (wel)

Senin, 26 September 2011

Uji Coba Go Kart Teknik Mesin

SIUUT: Minggu sore (25/9), mahasiswa Teknik Mesin Universitas Brawijaya
melakukan uji coba Go Kart di jalanan depan Fakultas Hukum.
(FOTO: WELGA FEBDI RISANTINO)

Sewa Lahan 60 Juta Rupiah, PKL Kembali Lagi

RAMAI: Suasana Pujasera Pedakang Kaki Lima Universitas Brawijaya, Senin, (26/9)
(FOTO: WELGA FEBDI RISANTINO)
MALANG - Masih ingatkah anda dengan PKL (Pedagang Kaki Lima) yang ‘mangkal’ di depan Unitas (Unit Aktivitas) Universitas Brawijaya? PKL yang sempat ‘diusir’ pihak kampus itu kembali lagi. Mereka sekarang berjualan di timur Unitas, dengan membayar uang sewa 60 juta Rupiah per tahun.
Asosiasi PKL UB ini menyewa lahan 400 meter persegi milik warga Jalan Pandjaitan. PKL yang berjualan disini berjumlah 59 PKL. Tapi yang aktif berjualan masih 50 PKL. “Sisa sembilan PKL yang masih berlum siap berjualan, karena takut tidak laku,” ujar Agus, Bendahara Koperasi PKL UB.
    

Uang sewa lahan berasal dari hasil patungan. Tiap PKL ditarik iuran 800 ribu Rupiah per tahunnya. Universitas Brawijaya sendiri turut menyumbang 20 juta Rupiah untuk biaya sewa. Dan PKL menamakan tempat ini Pujasera Pedagang Kaki Lima Universitas Brawijaya.

Awalnya, PKL ini berjualan di depan Unitas Universitas Brawijaya. Pada bulan Maret 2011, mereka diusir dari Universitas Brawijaya, karena pihak kampus mengindikasikan adanya praktik penjualan Kartu Tanda Anggota PKL kepada orang lain. Selain itu juga pihak kantin Dharma Wanita merasa tersaingi dengan adanya PKL ini.

Agus mengatakan kalau teman-teman PKL dan mahasiswa Universitas Brawijaya berjuang untuk bisa berjualan lagi di kampus. Mahasiswa Universitas Brawijaya menggalang seribu tanda tangan menolak pengusiran PKL. Selain itu, permasalahan ini diurus ke Lembaga Bantuan Hukum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Ombudsmen.

Setelah berbagai upaya dilakukan, pihak Universitas memberikan opsi pada PKL. Pertama, pihak kampus memberikan lahan jualan di beberapa lokasi di Universitas Brawijaya. Opsi yang kedua, penempatan PKL ada yang sebagian di dalam kampus, dan ada yang di luar kampus. Opsi yang terakhir yaitu menempati lahan warga sebagai tempat berjualan. “kami memilih opsi yang terakhir,” ujar Agus.
   
Desain PKL Saat ini 

Konsep penataan PKL ini berbeda dengan yang lalu. Penataan PKL dahulu yang hanya ‘beratapkan langit’, sekarang mulai diberi penutup menyerupai gubuk. Atapnya memakai tumpukan jerami-jerami padi. Untuk penahan atapnya, memakai bambu.

Saat memasuki pujasera, kita melihat pemandangan atap-atap pujasera yang seperti tempat jajanan lawas. Lalu kita menuruni beberapa anak tangga untuk mencapai PKL yang di samping kiri dan yang ada di bawah. selanjutnya tinggal memilih makanan atau minuman apa yang akan kita santap.

Konsep PKL yang unik saat ini, membuat Herda Prabadipta, mahasiswi Administrasi Publik 2010 merasa nyaman. “Tempat makannya enak dan nyaman, gak ada kendaraan sliweran seperti dulu,” ujar mahasiswi asal Jakarta ini.
 

Tapi, herda mengeluhkan banyaknya sampah-sampah berserakan di mana-mana. “Risih melihatnya. seharusnya diberikan tempat sampah di setiap tiang-tiang penyangga. Kita kan jaga kebersihan bersama-sama,” pungkasnya. (wel)

Minggu, 25 September 2011

Kisah SMAN 5 Jember, Peraih Peringkat I Adiwiyata

Pemkab tak Beri Bantuan Sedikitpun


RINDANG: Suasana di Dalam SMAN 5 Jember yang terlihat Asri (Foto: Welga Febdi Risantino)

Di era globalisasi saat ini, banyak ditemui perubahan-perubahan yang sering berdampak negatif. Baik itu dalam hal etika, kultur, pemerintahan, dan yang paling penting adalah lingkungan hidup (LH).

Hadirnya sekolah Adiwiyata merupakan salah satu solusi. Adiwiyata merupakan lomba dari Kementrian LH yang ditujukan kepada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Elemen penting dari Adiwiyata ini yaitu kurikulum, kondisi fisik sekolah, sampai perilaku tiap warga sekolah diintegrasikan dengan LH.

Hal itu ditunjukkan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Jember sebagai peraih Peringkat I Adiwiyata tingkat Nasional 2010. SMAN 5 Jember merupakan sekolah yang terletak di pinggiran kota Jember. Sekolah ini berdiri sejak 1996, dengan awal mula bernama SMAN 1 Patrang.

Memiliki murid sekitar 450 siswa, SMAN 5 Jember tumbuh menjadi sekolah yang berbasis LH pada 2008. Awalnya, SMAN 5 Jember ditawari Kementrian LH mengikuti lomba Adiwiyata. Husnawiyah, selaku kepala SMAN 5 Jember waktu itu mengiyakan tawaran tersebut.

Dulu SMAN 5 Jember tidak memiliki persiapan sama sekali, karena tidak tahu kriteria penilaian Adiwiyata seperti apa. Mereka mencari sendiri informasi tentang adiwiyata di internet.

Tak lama berselang, SMAN 5 Jember melengkapi segala persyaratannya. Dan untuk pertama kalinya, pada 2008, SMAN 5 Jember masuk nominasi mewakili Jawa Timur. Tak dapat disangka, dengan modal dan pengetahuan yang pas-pasan, mereka berhasil mencapai prestasi itu.

Semua elemen sekolah berperan penting dalam memajukan sekolah lewat Adiwiyata ini. Mulai program kesiswaan dengan kegiatan OSIS & ekstrakurikulernya dan kurikulum dengan pengintegrasian seluruh mata pelajaran dengan LH.

Selama SMAN 5 Jember berjuang di Adiwiyata ini, Pemerintah Kabupaten Jember tidak proaktif terhadap mereka. Tak ada bantuan secara nyata dari segenap aparat pemerintahan kepada SMAN 5 Jember. “Pemerintah seperti meremehkan kekuatan SMAN 5 Jember” ujar Halimatus Sa’diyah, guru matematika sekaligus ‘aktor utama’ SMAN 5 Jember bisa meraih prestasi lewat Lomba Adiwiyata selama ini.

Beda dengan sekolah-sekolah Adiwiyata lain di Indonesia. Sekolah lain dapat perhatian penuh dari pemerintah kabupaten maupun kotanya. Pemerintah mereka sadar akan pentingnya sekolah berbasis lingkungan bagi kehidupan masyarakat sekitar.

Tapi selama tiga tahun SMAN 5 Jember membuat gebrakan dengan cinta terhadap lingkungan kepada semua pihak. Seakan menyadarkan pemerintah yang selama ini ‘tidur lelap’ menangani masalah lingkungan.

Sekarang SMAN 5 Jember berjuang merebut Adiwiyata Mandiri. Adiwiyata Mandiri menekankan pada kurikulum di sekolah harus penuh dengan berbasis LH.

Agar dapat meraih Adiwiyata Mandiri itu, pihak SMAN 5 Jember berusaha terus mempertahankan perilaku semua warga sekolah dan sumber daya manusianya cinta LH. Kalau satu elemen saja rusak, maka akan hancur semua program Adiwiyata yang dicanangkan. (Welga Febdi Risantino)

Menyontek, Ironi Dalam Dunia Pendidikan

BERI DONG: Seorang Mahasiswa mengambil contekan dari temannya
(Model : Wimpi Nurrochman dan Laily Puspita)
(FOTO: WELGA FEBDI RISNTINO)
Lirik kanan, lirik kiri. Toleh depan toleh belakang. Ada yang ‘menyelundupkan’ buku, catatan, kertas kecil bahkan ponsel di kolong meja. Itulah kelakuan beberapa siswa di sebuah sekolah menengah atas (SMA) negeri di Jember saat ujian semester berlangsung. Seolah mencari kelengahan pengawas agar bisa mengisi semua jawaban dari soal yang tersedia.

Kejadian seperti itu sering kita lihat di tiap ada ujian sekolah maupun ujian nasional. Mungkin kita juga pernah melakukan hal seperti itu, supaya terhindar dari nilai jelek yang nanti kita peroleh.

Menyontek memiliki arti yang beraneka macam. Akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, sontek (menyontek) memiliki arti menjiplak atau mengutip tulisan dan sebagainya sebagaimana aslinya.

Faktor penyebab siswa menyontek itu bermacam-macam. Budi Swandayani, selaku guru Geografi SMA Negeri 5 Jember menjelaskan ada 3 faktor. “Kurang menguasai materi, kurang percaya diri, terlalu menggantungkan diri pada temannya,” jelasnya.

Amir Hasan Ramli, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya (UB) menambahkan, siswa menyontek itu menandakan tidak adanya kesiapan. “Selalu dalam keraguan. Dia sudah benar menjawab, tapi ia tak yakin dengan jawaban itu,” terangnya sembari tertawa kecil.

Gambaran Pendidikan Indonesia 
Standar nilai yang selalu mengalami peningkatan merupakan salah satu usaha pemerintah guna meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tuntutan memenuhi nilai yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seharusnya memacu peserta didik untuk bersungguh-sungguh memahami setiap mata pelajaran. Hal itu disampaikan Sumardi, Staff Sekretariat Dinas Pendidikan Kabupaten Jember dirumahnya.

Sosok pria yang dilahirkan di Jember 64 tahun lalu itu juga menerangkan kinerja Dinas Pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Ia menjelaskan, pembentukan karakter siswa lewat pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing sekolah. “Yang menangani manusianya itu sekolah,” jelasnya dengan nada keras.

Pihak Dinas Pendidikan sendiri selaku bawahan dari Kementrian Pendidikan serta Departemen Pendidikan Nasional, hanya menjalankan apa yang diperintahkan ‘atasan’. “Semua program-program baru dari pemerintah, kami yang sosialisasikan ke sekolah,” ujarnya sembari menghisap lintingan tembakau Surya 12.

Beban Nilai bagi Siswa 
Tiap tahun standar nilai tiap naik. Siswa yang terbiasa santai selama sekolah dan menghadapi nilai-nilai merah di rapornya akan berbeda dengan siswa yang terlatih dalam menghadapi tekanan seperti itu (baca: siswa rajin belajar).

Siswa yang terbiasa santai akan merasa terbebani dengan kondisi yang ada. Menyontek merupakan satu-satunya cara agar dapat lulus dan berharap dapat nilai bagus. Hal ini dialami Taqwatul Hikmah Candini, Mahasiswi Ilmu Komunikasi UB.

Semasa SMA dulu, ia seringkali menyontek, karena kesulitan menemukan jawabannya. “Jenenge ae wong kepepet, nyontek ae wes (Namanya saja orang terjepit, ya menyontek saja),” ujarnya sambil tertawa lebar.

Ia juga menambahkan kalau tidak menyontek, ia bisa kalah saing. “Aku kan iri, kalau nanti teman-teman dapat nilai bagus,” ujar cewek yang mengaku asli dari Blitar ini.

Disinggung masalah Ujian Nasional (UNAS), Taqwatul mengerenyitkan dahinya. Dia langsung melontarkan komentar kalau tiap tahun sistemnya jangan berubah-ubah. “Dulu kalau tidak lulus UNAS bisa ujian ulangan. Tapi sekarang langsung Paket C (Ujian kesetaraan SMA),” jelasnya dengan nada kesal.

Dia berharap sistem pendidikan di Indonesia sekarang tidak melulu ujian tulis. “Ujian tulis itu pas untuk mengetes seberapa kemampuan siswa memahami ilmu yang telah dipelajari. Tapi harus melihat dari segi lain seperti hard skill dan soft skill siswa”.

Lain Taqwatul, lain pula Putri Aulia Dwi Setyawati. Lulusan 2011 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Arjasa, Jember ini jarang menyontek. Bahkan ia mengusahakan untuk tidak menyontek. “Saya usahakan belajar dulu. Menyontek lho tidak penting, malah buat kita malas berpikir,” ujar cewek manis yang kental dengan aksen Maduranya ini.

Putri tidak merasa terbebani dengan standar nilai yang tiap tahun makin meningkat. Karena menurutnya ini merupakan tuntutan sebagai seorang pelajar. Malah dia terus mendukung UNAS tetap ada. “Karena bisa memacu pikiran kita,” jelas cewek yang suka menulis ini.

Dia juga menginginkan sistem pendidikan di Indonesia ini tidak terpaku pada ujian tulis saja. Tetapi memasukkan ujian di bidang lain seperti keahlian olahraga dan seni.

Mahalnya Peran Sekolah, Guru dan Orang Tua
Sekolah diakui sebagai tempat membangun mental dan karakter anak-anak bangsa. Dengan berjalannya waktu, bertambahnya zaman, dan pesatnya teknologi, apakah sekolah bisa menanggulangi arus itu?

SMAN 5 Jember, sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kota Jember bisa menanggulangi masalah itu. Pembangunan mental dan karakter siswanya masih cukup kental. Prinsip yang ditanamkan di sekolah ini salah satunya adalah kejujuran. Kejujuran menjadi harga mati untuk berhasil.

Sejak sekolah dipegang Pudji Juwono pada 2011, mantan kepala sekolah SMAN Pakusari Jember ini mengharamkan ketidakjujuran. Hal ini pertama ditanamkan kepada guru-guru di SMAN 5 Jember. Ia menghimbau guru untuk tidak mengajari siswanya lewat ‘jalan pintas’ saat UNAS. Maksudnya tidak mengajari siswa untuk berbuat curang.

Disinggung terkait maraknya ‘budaya’ menyontek siswa saat ujian, ia hanya tersenyum. “Menyontek itu bukan budaya, tapi kreativitas siswa sendiri”.

Pudji melakukan berbagai cara, supaya siswa tidak menyontek saat ujian. Mengadakan berbagai latihan-latihan soal sebelum ujian berlangsung. Dengan cara itu, ia berharap anak terbiasa mengerjakan soal dan tidak grogi saat ujian berlangsung. Selain itu mengadakan tambahan pelajaran pada pagi hari dan doa bersama wali murid.

Setelah sekolah mengawali upaya itu, guru adalah pihak selanjutnya dalam menangani masalah siswa terutama kejujuran. Budi Swandayani, guru Geografi SMAN 5 Jember ini juga tidak menyukai siswa bertindak tidak jujur saat ujian.

Ia tidak setuju karena hal itu berkaitan dengan pembentukan karakter. Padahal sekarang ‘gembar-gembornya’ pendidikan karakter. “Takutnya kalau wataknya menyontek, nanti karakternya tidak baik,” ujarnya sembari mengusap buihan keringat di keningnya.

Guru yang berbadan tambun ini memiliki cara untuk menangani permasalahan menyontek. Dia hanya menawarkan kepada siswa untuk mengerjakan ujian secara jujur. “Apapun nilainya kalau itu dikerjakan dengan jujur, saya akan membantu siswa. Tapi kalau nyontek, saya mikir-mikir dulu beri nilainya”.

Selain itu, ia berpendapat harus adanya kerjasama antara guru, siswa, dan wali murid. “Wali murid sekarang kurang respon dengan anaknya. Jadi mereka tidak tahu, anaknya belajar atau tidak,” jelasnya.

Kalau siswa itu tetap ‘bandel’ menyontek? “Saya akan memberikan nilai afektif (perilaku, sikap, dan perbuatan) seminimal mungkin,” ancamnya.

Dukungan orang tua menjadi ‘ujung tombak’ terhadap kondisi psikologis anak. Tuntutan yang terlalu berlebih kepada anak akan membuatnya merasa tertekan.

Orang tua yang cenderung menuntut anaknya seperti itu ada beberapa kemungnkinan. menurut Amir Hasan Ramli, orang tua tidak mendeteksi kemampuan anaknya. Contohnya bapak yang tidak ingin anaknya dapat nilai C, tapi harus A.

Kemungkinan selanjutnya yaitu saat anak lulus ujian masuk sekolah maupun perguruan tinggi favorit. Dengan persaingan yang begitu ketat menunjukkan kecerdasan anak diatas rata-rata. Wajar jika orang tua menuntut anak dapat nilai bagus.

Kalau anak terus dituntut untuk mengikuti kemauan orang tua, Amir mengkhawatirkan anak tersebut tidak akan sukses.

Contohnya saja, bapak yang menuntut anaknya kuliah di kedokteran. Saat ujian masuk, ia lulus. Tapi karena tidak minat dengan jurusan itu, dua tahun lagi ia akan ‘ambrol’ (nilainya jelek dan lama lulusnya, red). Tuntutan orang tua sudah dipenuhi, tapi ia gagal jadi dokter.

Amir memberikan solusi, orang tua harus membebaskan anaknya memilih jurusan dan minatnya. Ia juga menambahkan, dengan pemberian kebebasan memilih jurusan dan minat pada anak, diharapkan bisa membangun karakter anak jadi lebih baik. “Perilaku menyontek bisa dihindari, karena anak giat belajar sesuai dengan pilihannya,” pungkasnya. (Welga Febdi Risantino)

Perusahaan Bangun Mental Kewirausahaan

Saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia masih menjadi tumpuan lulusan-lulusan sarjana perguruan tinggi untuk menapaki karir ke depannya. Seakan tidak pernah ada habisnya perekrutan karyawan-karyawan yang diambil dari lulusan sarjana tersebut.

Tetapi saat ini realitanya sarana pendukung untuk menjadikan seorang mahasiswa menjadi seorang job maker maupun job seeker menjadi masalah tersendiri. “Kurikulum yang ada saat ini mengarahkan lulusan sarjana untuk memenuhi kebutuhan pasar” ujar Rahmat Syafaat, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini.

Kurikulum yang ada saat ini, peran serta lulusan patut dipertanyakan apakah bisa mandiri atau tidak setelah lulus kuliah nanti. Mau mandiri dari mana jika mereka melamar pekerjaan sering tidak cocok ataupun ditolak oleh perusahaan tersebut.

Perusahaan dan wiraswastawan besar belum memberikan investasi maksimal terhadap pendidikan di Indonesia. Saat ini sangat sedikit sekali perusahaan yang menginvestasikan dananya untuk sekedar pemberian fasilitas maupun memberikan pembelajaran secara langsung dalam kuliah tersebut. Laboratorium-laboratorium representatif masih minim.            
                                   
“Pendidikan bukan hanya urusan satu pihak saja. Kerja sama pemerintah, universitas dan perusahaan sangat berperan dalam memajukan pendidikan di Indonesia” ungkapnya.

Jaringan-jaringan ke perusahaan dilakukan untuk menampung mahasiswa mempraktikkan secara langsung ilmu yang didapatnya sewaktu kuliah. “Kuliah itu tidak harus di dalam kelas saja, tapi di perusahaan juga” Rahmat menambahkan. Karena hal ini dapat membangun semangat kewirausahaan tiap mahasiswa.

Rahmat juga menambahkan, kalau orang-orang dari perusahaan juga harus sering muncul dalam perkuliahan. Karena mereka sudah lama terjun di dunia kerja. Pengalaman-pengalaman yang mereka punya sudah banyak. “Misalnya Fakultas Pertanian, pengajarannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bertani, tapi hanya dengan spidol dan papan tulis” Syafaat menyindir masalah ini.
           
Pembangunan jaringan kerjasama universitas dengan perusahaan-perusahaan juga menekan kejadian kesalahan penempatan mahasiswa yang magang di perusahaan. “Kalau misalnya mereka kuliah di akuntansi, saat praktik harus ditempatkan di bagian akuntansi juga. Bukan di bagian penerima surat” ujarnya. Sampai sekarang kenyataannya para mahasiswa yang magang ditempatkan di posisi yang salah.

Rahmat mengatakan perusahaan hanya mengambil lulusan-lulusan sarjana tanpa ikut mendidiknya. Di negara Indonesia perusahaan yang membiayai pendidikan, pembangunan laboratorium dapat dihitung dengan jari. Berbeda halnya dengan Korea yang memberikan biaya pendidikan kepada Mendiknas, agar lulusan-lulusan perguruan tinggi memiliki SDM yang mumpuni.
           
Dosen mata kuliah Hukum Perdata ini menambahkan kalau penyeimbangan teori dan praktik di lapangan berbanding 50 persen ini sangat efektif membangun mental mahasiswa agar dapat bersaing di dunia kerja. Mental kewirausahaan muncul dengan pembiasaan sistem tersebut. Meskipun universitas harus mengeluarkan dana yang sangat banyak. (Welga Febdi Risantino)

Rabu, 21 September 2011

New Media


New Media? Apa itu?

Kata media berasal dari bahasa latin yang memiliki arti sebagai perantara sebuah informasi dengan penerima informasi. atau bahasa simpelnya media berarti perantara New media, apa itu???? Banyak diantara kita yang bertanya-tanya tentang arti sebenarnya dari new media tersebut. 

Sedangkan New media, tidak ada istilah yang paling spesifik untuk menggambarkannya. Karena new media hanya dapat dilakukan dengan penjabaran secara umum. Yakni penggabungan dari media konvensional.
Manfaat media itu sendiri yang bisa kita rasakan adalah sarana untuk memudahkan dalam mendapatkan yang kita inginkan.
Dengan penambahan istilah “new”, berarti berhubungan dengan waktu. Seperti dengan adanya perubahan pada era modern serta bantuan teknologi computer , maka konsumen dapat menikmatinya secara atraktif. Jadi new media ini memberi kesempatan akses on-demand yang di peruntukkan untuk berbagai konten, tanpa batas tempat, perangkat digital serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi kreatif dan pembentukan masyarakat dari isi media tersebut.
Lalu apakah computer bisa pula kita sebut pula sebagai new media? Karena banyak orang yang beranggapan bahwa computer lah new media itu. Namun jika kita timbang, bukankah computer hanya sebuah mesin dan tidak bisa dijadikan sebagai barometer sebagai new media itu sendiri.

Media baru secara sederhana adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online social network, online forum, dsb yang menggunakan komputer sebagai media-nya. Jadi, sangatlah tidak tepat untuk memasukkan televisi, radio apalagi media cetak sebagai bagian dari media baru

Beda New Media dengan Media Tradisional?
yang membedakan media baru dari media tradisional bukan digitalisasi konten media ke bit, tetapi kehidupan yang dinamis dari "new media" isi dan hubungan interaktif dengan konsumen media itu sendiri. jadi singkatnya perbedaan new media dan media tradisonal yang paling nampak adalah pengaksesannya secara real time.


Gambaran New Media disunting dari WARDRIP - FRUIN MONTFORT
>>  New Media Vs CybercultureCyberculture berkaitan dengan fenomena sosial yang berhubungan dengan jaringan internet. Sedangkan new Media lebih merujuk kepada objeknya

>>  New Media sebagai Teknologi Komputer Digunakan sebagai Distribusi Platform 
Objek yang memanfaatkan teknologi komputer sebagai sarana pendistribusiannya  

>>  New Media sebagai Data Digital yang Dikendalikan oleh Software 
semua yang berbasis digital yang tadinya bersifat umum dengan new media, data tersebut dapat dimanipulasi dengan bantuan software

>> New Media sebagai Mix Budaya Antara Ada Konvensi dan Konvensi Perangkat Lunak
media konvensionalrepresentassi realitas visual dengan pengalaman manusia sedangkan new media lebih menitik beratkan pada data numerik. 

>> New Media sebagai Estetika yang menemani Tahap Awal Setiap Baru Modern Media dan Komunikasi Teknologi

>> New Media sebagai cepat Pelaksanaan Eksekusi Algoritma Sebelumnya secara manual atau melalui Technologies lain 
peningkatan kecepatan pada pengeksekusian representasi secara dramatis.

>>  New Media sebagai Encoding dari Avant-Garde Modernisme, New Media sebagai Bank Jasa.

Jadi ...
New media adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai “media baru” adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Beberapa contoh dapat Internet, website, komputer multimedia, permainan komputer, CD-ROMS, dan DVD. Media baru bukanlah televisi, film, majalah, buku, atau publikasi berbasis kertas.