Saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia masih
menjadi tumpuan lulusan-lulusan sarjana perguruan tinggi untuk menapaki karir
ke depannya. Seakan tidak
pernah ada habisnya perekrutan karyawan-karyawan yang diambil dari lulusan
sarjana tersebut.
Tetapi saat ini realitanya sarana pendukung untuk menjadikan seorang
mahasiswa menjadi seorang job maker maupun job seeker menjadi masalah
tersendiri. “Kurikulum yang ada saat ini mengarahkan lulusan sarjana untuk
memenuhi kebutuhan pasar” ujar Rahmat Syafaat, dosen Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya ini.
Kurikulum yang ada saat ini, peran serta lulusan patut dipertanyakan apakah
bisa mandiri atau tidak setelah lulus kuliah nanti. Mau mandiri dari mana jika
mereka melamar pekerjaan sering tidak cocok ataupun ditolak oleh perusahaan
tersebut.
Perusahaan dan wiraswastawan besar belum memberikan investasi maksimal
terhadap pendidikan di Indonesia. Saat ini sangat sedikit sekali perusahaan
yang menginvestasikan dananya untuk sekedar pemberian fasilitas maupun
memberikan pembelajaran secara langsung dalam kuliah tersebut. Laboratorium-laboratorium
representatif masih minim.
“Pendidikan bukan hanya urusan satu pihak saja. Kerja sama pemerintah,
universitas dan perusahaan sangat berperan dalam memajukan pendidikan di
Indonesia” ungkapnya.
Jaringan-jaringan ke perusahaan dilakukan untuk menampung mahasiswa mempraktikkan
secara langsung ilmu yang didapatnya sewaktu kuliah. “Kuliah itu tidak harus di
dalam kelas saja, tapi di perusahaan juga” Rahmat menambahkan. Karena hal ini
dapat membangun semangat kewirausahaan tiap mahasiswa.
Rahmat juga menambahkan, kalau orang-orang dari perusahaan juga harus
sering muncul dalam perkuliahan. Karena mereka sudah lama terjun di dunia kerja.
Pengalaman-pengalaman yang mereka punya sudah banyak. “Misalnya Fakultas Pertanian,
pengajarannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bertani, tapi hanya
dengan spidol dan papan tulis” Syafaat menyindir masalah ini.
Pembangunan jaringan kerjasama universitas dengan perusahaan-perusahaan
juga menekan kejadian kesalahan penempatan mahasiswa yang magang di perusahaan.
“Kalau misalnya mereka kuliah di akuntansi, saat praktik harus ditempatkan di
bagian akuntansi juga. Bukan di bagian penerima surat” ujarnya. Sampai sekarang
kenyataannya para mahasiswa yang magang ditempatkan di posisi yang salah.
Rahmat mengatakan perusahaan hanya mengambil lulusan-lulusan sarjana tanpa
ikut mendidiknya. Di negara Indonesia perusahaan yang membiayai pendidikan,
pembangunan laboratorium dapat dihitung dengan jari. Berbeda halnya dengan
Korea yang memberikan biaya pendidikan kepada Mendiknas, agar lulusan-lulusan
perguruan tinggi memiliki SDM yang mumpuni.
Dosen mata kuliah Hukum Perdata ini menambahkan kalau penyeimbangan teori
dan praktik di lapangan berbanding 50 persen ini sangat efektif membangun
mental mahasiswa agar dapat bersaing di dunia kerja. Mental kewirausahaan
muncul dengan pembiasaan sistem tersebut. Meskipun universitas harus
mengeluarkan dana yang sangat banyak. (Welga
Febdi Risantino)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar