|
Ilustrasi Titip Absen (sumber: flickr.com) |
|
|
Siang itu (29/9) di ruang F.7.3 salah satu gedung perkuliahan di Universitas Brawijaya (UB), seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah x tertunduk lesu. Seakan meratapi kesalahan yang telah mereka lakukan. Menandatangani absensi kehadiran mahasiswa lain yang diketahuinya tak hadir dalam perkuliahan. Mereka tak berani menatap mata dosennya. Dosen itu menegur mereka habis-habisan dan tak akan memaafkan mahasiswa yang dititipi absen dan yang menandatangani.
Ya, fenomena titip absen (TA) di kalangan mahasiswa bukan menjadi rahasia umum lagi. Hampir di tiap perkuliahan, ada saja mahasiswa yang menyempatkan diri menandatangani absensi temannya yang kebetulan hari itu tak masuk kuliah. Mahasiswa yang TA pun seperti tak merasa bersalah menyuruh temannya menandatangani absennya.
NU (19), mahasiswi UB angkatan 2010 ini tak memungkiri seringnya ia TA kepada temannya. “Sudah gak bisa dihitung, berapa kali aku TA. Malas itu masuk kuliah, mata kuliahnya banyak yang gak enak,” tandasnya.
Mahasiswi yang mengaku asli Magetan ini tak pernah menyesali perbuatannya. “Ngapain nyesel mas, sudah biasa aja,” pungkasnya.
DNS (19), memiliki alasan lain mengapa dirinya sampai TA. “Aku TA karena mengerjakan sesuatu yang lain, seperti tugas dan proyek di luar kampus. Aku juga lihat pentingnya mata kuliah dan dosennya. Bisa di TA atau tidak,” ujarnya.
Mahasiswa yang berpostur tinggi ini mengatakan kalau merasakan ketakutan saat TA, meskipun selama ini ia tidak pernah ketahuan. DNS mengenal TA sejak melihat fenomena mahasiswa lain yang banyak melakukan kebiasaan itu.
Selama kuliah, DNS sudah empat kali TA. Ia menyuruh teman yang dekat dengan dia untuk menandatangani absennya. Ia pun tak pernah memberi imbalan ke temannya. “Kalau aku melakukan prinsip proximity (kedekatan, red) dengan temanku,” kata pria yang menyukai film ini.
Meskipun DNS TA dengan alasan yang jelas, ia mengingatkan kalau kebiasaan TA itu berbahaya. “Karena nanti takutnya bisa keterusan sampai kerja,” pungkasnya.
FA (19) punya cerita berbeda. Dia mengaku baru pertama kali TA. Itupun ia terpaksa melakukan TA. “Ceritanya waktu itu saya ada kuliah jam tujuh pagi. Saya telat bangun. Saya buru-buru untuk berangkat ke kampus. Eh, sampai kampus sudah jam delapan. Ya sudah saya minta TA ke teman,” ungkap pria berparas cina ini.
Setelah pengalaman itu, ia menyadari kesalahannya melakukan TA. “Saya gak akan lakuin TA lagi, mas. Daripada absensi dibuat hal-hal yang tak berguna dan malah merugikan kita,” tutup pembicaraannya.
Selain merugikan, kasus TA juga diatur dalam Kode Etik Mahasiswa yang dikeluarkan Rektor UB. Kode Etik Mahasiswa mengatur standar perilaku mahasiswa dalam ruang kuliah dan/atau laboratorium. Dalam Pasal 5 ayat g, berbunyi Jujur, tidak menandatangani absensi kehadiran mahasiswa lain yang diketahuinya tidak hadir dalam perkuliahan.
Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik itu akan mendapat sanksi dari pimpinan fakultas masing-masing. Bahkan rektor dapat mempertimbangkan pemberian sanksi yang lebih berat terhadap pelanggaran Kode Etik setelah memperoleh masukan dari para pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran Kode Etik.
Desi Dwi Prianti, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB, tidak menyukai mahasiswa yang TA. “Mereka berpikiran TA itu hanya untuk memenuhi prasyarat bisa ikut UTS dan UAS. Padahal ujian itu hanya untuk mengukur kemampuan mahasiswa selama ini,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya mahasiswa bisa tidak menyukai suatu mata kuliah. Akhirnya mahasiswa memilih TA daripada masuk kelas. Kalaupun masuk, mereka pasti tidur ataupun ngobrol di kelas. “Mahasiswa seperti itu mengganggu proses perkuliahan,” kata dosen lulusan Magister di negeri kincir angin ini.
Menurutnya, mahasiswa yang mengerti prioritas sebagai mahasiswa, ia akan datang kuliah. Kalau mereka tidak sadar akan peran mahasiswa yang sebenarnya, pasti akan TA dan tidak belajar.
Wanita asli Malang ini menjelaskan kalau TA memiliki beberapa resiko. “Mereka kan tidak tahu materi yang diajarkan dosen. Kecuali yang TA itu pinter dan mudah memahami materi. Meskipun ia tidak suka pembelajaran di kelas, no problem,” ujarnya.
Selain itu ia mengatakan, dosen bisa saja memberikan nilai E untuk mahasiswa yang ketahuan TA dan mahasiswa yang menandatangani absensi temannya. (Welga Febdi Risantino)