Kotor, bau, dan kumuh mungkin merupakan
kesan pertama yang kita temui bila kita berkunjung ke TPA (Tempat Pembuangan
Akhir). Itu semua di akibatkan menggunungnya sampah yang ada . Namun begitu
bagi sebagian orang tumpukan sampah yang kotor justru menjadi sumber kehidupan.
Seperti bagi Sulastri (56) tahun warga dusun Suling Mangunsuman Siman yang
berprofesi sebagai pengais sampah di TPA Mrican Jenangan. Menggantungkan
perekonimian dari sampah-sampah lah yang menjadi pilihan wanita ini.
Pekerjaan yang sudah dijalaninya sejak 15
tahun yang lalu ini lah, yang menjadi pilihannya. Karena idak ada keahlian lain
ibu dari 5 orang anak ini terpaksa mengais rejeki dari tumpukan sampah yang ada
di TPA Mrican.
Berangkat pagi sekali Sulastri di temani
sang suami Ramijo (61) memulai aktifitas mengais sampah. Satu persatu sampah
organik dan non organik seperti plastik dan bekas botol minuman dipungutinya.
Dengan bermodalkan sebilah besi yang digunakan untuk memungut sampah dan sebuah
karung sebagai wadahnya. Asap akibat pembakaran sampah yang sangat pekatpun tak
dihiraukannya. “ niku sampun biasa “ tutur wanita 56 tahun ini.
Setelah karung yang dipanggulnya sudah
terasa penuh akhirnya si ibu ini bergegas menuju gubug kecil nya. Gubug kecil
ini berfungsi sebagai tempat mensortir atau memilih sampah. Dengan atap terbuat
dari kain kain bekas Sulastripun memilihi sampah yang didapatnya dengan tangan
kosong seperti tidak mengenal jijik sama sekali. Sesekali aroma busuk yang
sangat menyengat membuatnya tersedak dan batuk.
Sungguh ironis bila kerja keras setiap
harinya ternyata tidak sebanding dengan
pendapatan yang di perolehnya. Ternyata dari semua sampah yang diperolehnya
setiap hari tidak langsung laku terjual, namun masih menunggu 1 bahkan 2 bulan
baru bias laku terbeli. Para pembeli biasanya
adalah juragan barang bekas setempat yang dating langsung ke rumah untuk
membelinya. Untuk 1 Kg plastic hanya dihargai Rp. 500,00 saja, begitu pula
botol minuman juga dihargai Rp. 500,00 per kilogramnya. Jadi setiap kali
transaksi Sulastri bias memperoleh uang Rp. 200.000 saja dan itupun tidak rutin
kalau tidak 1 bulan sekali kadang 2 bulan sekali.
Sungguh tidak sepadan dengan kerja keras
dan keringat yang sudah keluar. Namun ibu ini mencoba ikhlas. “ nggih namung ikhlas mawon “ tutur
ibu ini disela kegiatan memilihi sampahnya sambil sesekali melontarkan senyum
kecilnya di bawah terik matahari.
Dan di TPA Mrican ternyata masih banyak
orang-orang yang berprofesi seperti Sulastri, terhitung mencapai 40 sampai 50
orang,dan rata –rata merupakan warga setempat.
Terus bagaimana dengan kesehatan mereka, mungkin itu yang menjadi pertanyaan sekarang. Bila dilihat sepintas dengan suasana dan ekosistem seperti itu jelas jauh dari kata bersih dan sehat. Bibit penyakit dan bakteri berkumpul dan bersarang di gundukan sampah tersebut. “ nggih umpami sakit nggih namung pilek kalihan watuk”, tuturnya lagi. Dan itu sudah dianggap sangat biasa bagi mereka.
Memeriksa kesehatan ke dokter atau puskesmas setempat mungkin menjadi momen yang sangat langka bagi mereka, karena mereka enggan untuk mengeluarkan uang untuk itu. Dan kesehatan dianggap sangat mahal bagi mereka.
Dan sampai sekarang belum ada niat baik
dari pemerintah untuk membantu terkait dengan kesehatan mereka. Padahal mereka
sangat mengharapkan itu bias mereka rasakan. Padahal mereka juga masih warga
Ponorogo yang juga membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Mungkin semangat lah menjadi bahan bakar
utama mereka untuk tetap ikhlas beraktifitas. Ada keluarga juga dirumah yang menjadi
semangat mereka juga. Melihat anak- anak mereka tumbuh dan bias mengenyam
bangku sekolah saja sudah sangat cukup dan menjadi cita- cita yang paling
tinggi bagi mereka. Mereka tidak mau untuk hanya bermimpi menjadi orang yang
cukup, mereka memilih untuk tetap tersadar dan hidup di kenyataan yang sulit
bagi mereka. Namun kesabaran dan keikhlasan lah yang membuat mereka tetap
bertahan sampai sekarang. (Mita Pratiwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar